Overqualified Tapi Nganggur? Fenomena Baru di Pasar Kerja 2025

0
69
Overqualified Tapi Nganggur? Fenomena Baru di Pasar Kerja 2025

Overqualified Tapi Nganggur? Fenomena Baru di Pasar Kerja 2025 – Di tengah derasnya perkembangan teknologi dan tuntutan dunia kerja yang terus berubah, muncul satu fenomena yang semakin sering dibicarakan di tahun 2025: banyak profesional yang dianggap “overqualified”, tapi justru sulit mendapatkan pekerjaan.

Fenomena ini terdengar paradoks. Bukankah memiliki kualifikasi tinggi, pengalaman segudang, dan skill mumpuni seharusnya menjadi keunggulan? Nyatanya, hal itu justru menjadi batu sandungan bagi sebagian pencari kerja saat ini.

Istilah overqualified merujuk pada kandidat yang memiliki kualifikasi atau pengalaman kerja yang jauh di atas kebutuhan posisi yang dilamar. Tapi bukannya menjadi nilai plus, banyak HR justru menghindari mereka. Berikut beberapa alasan yang sering muncul:

  1. Kekhawatiran Akan Cepat Resign
    Perusahaan khawatir kandidat akan merasa bosan, tidak tertantang, dan akhirnya meninggalkan pekerjaan dalam waktu singkat. Biaya rekrutmen dan pelatihan yang terbuang menjadi salah satu pertimbangan utama.

  2. Permintaan Gaji yang Tidak Sesuai Budget
    Banyak perusahaan berasumsi bahwa kandidat overqualified akan menuntut gaji tinggi, melebihi kisaran yang sudah ditetapkan untuk posisi tersebut — meskipun tidak selalu demikian.

  3. Masalah Ego dan Kecocokan Tim
    Ada kekhawatiran bahwa kandidat dengan pengalaman tinggi akan sulit diarahkan, sulit beradaptasi dengan atasan yang lebih muda atau kurang pengalaman, atau bahkan menimbulkan ketegangan dalam tim.

  4. Tantangan Budaya Organisasi
    Beberapa HR merasa kandidat overqualified mungkin tidak cocok dengan budaya perusahaan yang dinamis, muda, atau eksperimental — khususnya di startup atau perusahaan teknologi baru.

Bayu, 42 tahun, pernah menjabat sebagai manajer di perusahaan multinasional selama lebih dari satu dekade. Setelah terkena PHK karena efisiensi struktur organisasi, ia mulai melamar berbagai posisi — termasuk yang jauh lebih junior dari posisinya sebelumnya.

“Dari puluhan lamaran, hampir tidak ada yang menghubungi. Kalaupun ada, mereka bilang saya terlalu senior untuk posisi itu,” cerita Bayu. Padahal, menurutnya, ia siap untuk mulai dari bawah lagi asalkan bisa tetap produktif dan berkarya.

Overqualified Tapi Nganggur? Fenomena Baru di Pasar Kerja 2025

Meski tantangan ini nyata, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Berikut beberapa strategi yang bisa dipertimbangkan:

  1. Sesuaikan CV & Surat Lamaran
    Tampilkan hanya pengalaman yang relevan dengan posisi yang dilamar. Hindari kesan terlalu “berat”. Jelaskan dengan jujur motivasi kamu melamar posisi tersebut.

  2. Tekankan Komitmen & Fleksibilitas
    Yakinkan perekrut bahwa kamu siap beradaptasi, menghargai proses, dan tidak berniat menjadikan posisi tersebut sebagai “batu loncatan”.

  3. Bangun Personal Branding yang Tepat
    Gunakan platform seperti LinkedIn untuk menunjukkan bahwa kamu terbuka pada tantangan baru, pembelajaran, dan tidak terpaku pada jabatan semata.

  4. Jajaki Karier Alternatif atau Freelance
    Banyak profesional overqualified yang akhirnya menemukan peluang lebih baik lewat konsultasi, freelance, mentoring, atau membangun usaha sendiri.

Refleksi untuk Dunia Kerja: Saatnya Ubah Paradigma

Fenomena ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi perusahaan dan HR: apakah kita terlalu cepat menilai seseorang hanya dari “terlalu tinggi” kualifikasinya? Padahal, di balik itu bisa jadi ada dedikasi, pengalaman, dan nilai tambah yang justru berharga.

Di sisi lain, para pencari kerja yang dianggap overqualified juga perlu memahami dinamika pasar saat ini. Dunia kerja 2025 sangat cepat berubah, dan fleksibilitas menjadi kunci — bukan hanya dalam hal skill, tapi juga cara berpikir.

“Overqualified tapi nganggur” adalah realitas baru yang muncul di tengah ketatnya persaingan dan cepatnya transformasi digital. Namun, dengan strategi yang tepat dan pola pikir terbuka, baik perusahaan maupun kandidat bisa menemukan titik temu.

Karena pada akhirnya, dunia kerja bukan hanya soal gelar atau jabatan — tapi tentang bagaimana seseorang bisa terus berkontribusi, berkembang, dan relevan.

Baca Juga : https://blog.kitakerja.co.id/digitalisasi-rumah-sakit-peluang-baru-untuk-tenaga-non-medis/