Quiet Cutting: Strategi Baru Perusahaan untuk Menyingkirkan Karyawan Tanpa PHK

0
72
Quiet Cutting: Strategi Baru Perusahaan untuk Menyingkirkan Karyawan Tanpa PHK

Quiet Cutting: Strategi Baru Perusahaan untuk Menyingkirkan Karyawan Tanpa PHK – Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu dan tekanan efisiensi biaya yang makin tinggi, perusahaan kini mulai menggunakan cara-cara yang lebih halus — bahkan tidak terlihat — dalam merampingkan jumlah tenaga kerja. Salah satu strategi yang makin sering muncul di tahun 2025 adalah fenomena yang disebut “quiet cutting”.

Berbeda dari quiet quitting, di mana karyawan memilih untuk bekerja seminimal mungkin tanpa benar-benar resign, quiet cutting justru datang dari sisi perusahaan. Ini adalah praktik memindahkan karyawan ke posisi yang kurang strategis, tidak sesuai keahlian, atau bahkan mengarah pada “pengasingan profesional” — tanpa melakukan PHK secara resmi.

Secara sederhana, quiet cutting adalah taktik perusahaan untuk “mendorong” karyawan keluar secara sukarela, tanpa perlu melakukan pemutusan hubungan kerja secara langsung. Biasanya, ini dilakukan dengan:

  • Memindahkan karyawan ke peran baru yang tidak relevan dengan latar belakang atau keahlian mereka.

  • Mengurangi tanggung jawab atau akses terhadap proyek penting.

  • Memberikan target tidak realistis atau beban kerja yang tidak wajar.

  • Mengubah shift, lokasi kerja, atau kondisi kerja secara drastis tanpa pertimbangan.

  • Membuat lingkungan kerja menjadi tidak nyaman secara psikologis.

Meskipun secara hukum tidak disebut sebagai PHK, dalam praktiknya banyak karyawan “dipaksa” mengundurkan diri karena merasa tidak lagi memiliki tempat atau masa depan di dalam perusahaan.

Ada beberapa alasan mengapa strategi ini mulai marak digunakan:

  1. Menghindari Biaya Pesangon dan Reputasi Buruk
    Melakukan PHK besar-besaran bisa merusak citra perusahaan dan menimbulkan beban finansial. Quiet cutting menjadi “jalan tengah” yang lebih senyap.

  2. Tekanan untuk Merampingkan Struktur Organisasi
    Di tengah adopsi teknologi dan otomatisasi, banyak posisi dianggap tidak lagi relevan. Namun, menggantinya secara langsung bisa menimbulkan gejolak internal.

  3. Menghindari Konflik Hukum atau Serikat Pekerja
    Quiet cutting sering kali sulit dibuktikan secara hukum, karena tidak ada pemutusan kerja eksplisit yang bisa dipermasalahkan.

Bagi karyawan yang menjadi “korban” quiet cutting, dampaknya bisa sangat berat, terutama secara mental dan emosional. Mereka mungkin mengalami:

  • Kebingungan identitas profesional, karena merasa tidak lagi dihargai atas keahlian dan kontribusinya.

  • Stres berkepanjangan, karena harus bertahan di tempat yang tidak lagi mendukung pertumbuhan karier.

  • Rasa gagal atau kehilangan harga diri, meski mereka tidak melakukan kesalahan apa pun.

  • Kebingungan finansial, terutama jika akhirnya harus mengundurkan diri tanpa rencana.

Banyak dari mereka yang bahkan mempertanyakan kemampuan diri sendiri, padahal yang terjadi hanyalah permainan strategi dari sisi perusahaan.

Quiet Cutting: Strategi Baru Perusahaan untuk Menyingkirkan Karyawan Tanpa PHK

Menghadapi quiet cutting memang bukan hal mudah, tapi ada beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Dokumentasikan Segala Perubahan
    Catat email, arahan, atau perubahan tanggung jawab secara detail. Ini penting jika situasi harus dibawa ke ranah hukum atau mediasi.

  2. Bangun Jaringan dan Personal Branding
    Jangan tunggu hingga situasi memburuk. Bangun koneksi, aktif di LinkedIn, dan mulai eksplorasi peluang kerja baru.

  3. Konsultasi dengan HR atau Atasan Langsung
    Jika merasa ada yang tidak wajar, jangan ragu untuk bertanya. Terkadang, keterbukaan bisa membuka solusi.

  4. Siapkan Rencana Karier Alternatif
    Jangan menggantungkan masa depan hanya pada satu perusahaan. Skill dan pengalaman kamu tetap berharga, mungkin di tempat lain kamu justru lebih dihargai.

Dari sisi perusahaan, strategi seperti quiet cutting mungkin terlihat efisien. Tapi di balik angka-angka dan laporan keuangan, ada manusia yang terdampak. Budaya kerja yang sehat seharusnya tidak dibangun di atas pengabaian dan manipulasi halus seperti ini.

Perusahaan perlu menyadari bahwa transparansi, komunikasi yang terbuka, dan perlakuan manusiawi jauh lebih berkelanjutan daripada taktik diam-diam yang merusak kepercayaan.

Quiet cutting mungkin menjadi “strategi pintar” di mata manajemen, tapi bagi karyawan, ini bisa menjadi pengalaman yang menyakitkan dan membingungkan. Dunia kerja 2025 menuntut adaptasi, tapi juga membutuhkan empati.

Karier bukan sekadar soal efisiensi — tapi tentang hubungan yang saling menghargai antara individu dan organisasi. Dan di tengah semua perubahan, semoga kita tidak lupa untuk tetap berkemanusiaan.

Baca Juga : https://blog.kitakerja.co.id/overqualified-tapi-nganggur-fenomena-baru-di-pasar-kerja-2025/