Job Hugging: Mengapa Banyak Pekerja Pilih Bertahan Meski Tak Bahagia?

0
82
Job Hugging: Mengapa Banyak Pekerja Pilih Bertahan Meski Tak Bahagia? - Di era digital yang serba cepat, dengan banyak peluang kerja

Job Hugging: Mengapa Banyak Pekerja Pilih Bertahan Meski Tak Bahagia? – Di era digital yang serba cepat, dengan banyak peluang kerja muncul lewat satu klik di LinkedIn atau platform pencari kerja lainnya, mungkin terdengar aneh bahwa begitu banyak orang tetap bertahan di pekerjaan yang membuat mereka tidak bahagia. Fenomena ini dikenal dengan istilah “job hugging” kondisi di mana seseorang memeluk erat pekerjaannya, meskipun mereka sudah tidak lagi merasa nyaman, termotivasi, atau puas.

Tapi mengapa ini terjadi? Apakah rasa takut, kenyamanan semu, atau ada alasan yang lebih dalam?

Alasan paling umum mengapa orang tetap bertahan di pekerjaan yang tidak mereka sukai adalah rasa takut akan ketidakpastian. Pergi dari satu pekerjaan tanpa jaminan bahwa pekerjaan selanjutnya akan lebih baik adalah langkah besar yang penuh risiko.

Banyak pekerja merasa, “Lebih baik bertahan di tempat yang sudah dikenal daripada masuk ke tempat yang belum pasti.” Apalagi jika mereka sudah memiliki tanggungan keluarga, cicilan, atau kebutuhan hidup yang tidak bisa ditunda.

Di masyarakat kita, sering kali ada tekanan sosial untuk bersyukur atas pekerjaan yang dimiliki, meskipun pekerjaan itu sudah tidak sehat secara mental maupun emosional. Kalimat seperti “Yang penting masih punya kerjaan” atau “Banyak di luar sana yang nganggur” jadi pembenaran untuk terus bertahan.

Tanpa disadari, budaya ini membuat banyak orang merasa bersalah jika ingin mencari kebahagiaan di tempat kerja, seolah-olah keinginan untuk bahagia adalah bentuk ketidakbersyukuran.

Bekerja di satu tempat dalam waktu lama tentu memberikan rasa aman. Kita tahu ritmenya, tahu siapa saja koleganya, dan tahu bagaimana menyiasati sistemnya. Tapi rasa aman itu kadang menjadi jebakan.

Zona nyaman tidak selalu berarti tempat yang baik. Kadang, itu hanya tempat yang familiar, meskipun menyiksa. Pekerja yang mengalami “job hugging” sering kali merasa terlalu nyaman untuk mengambil risiko, bahkan jika pekerjaan itu membuat mereka merasa stagnan atau tertekan.

Tak sedikit pekerja yang merasa bahwa mereka tidak cukup kompeten atau menarik di mata perusahaan lain. Ini membuat mereka berpikir bahwa bertahan adalah satu-satunya pilihan.

Kurangnya kepercayaan diri ini bisa datang dari banyak hal: pengalaman buruk di masa lalu, lingkungan kerja yang toksik, atau karena mereka sudah terlalu lama di satu perusahaan sehingga merasa tak relevan dengan dunia kerja saat ini.

Job Hugging: Mengapa Banyak Pekerja Pilih Bertahan Meski Tak Bahagia?

Ada juga tekanan dari persepsi sosial atau profesional bahwa sering berpindah kerja adalah tanda ketidaksetiaan atau kurang konsistennya seseorang. Padahal di era modern, berpindah kerja bisa menjadi strategi untuk berkembang dan menemukan tempat yang lebih sesuai dengan nilai serta tujuan pribadi.

Bagi mereka yang merasa terjebak dalam situasi ini, langkah pertama adalah mengenali perasaan tidak bahagia itu dengan jujur. Lalu, tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah saya bertahan karena saya masih melihat potensi di sini?

  • Atau saya bertahan karena takut dan tidak punya rencana lain?

Jika jawabannya yang kedua, mungkin saatnya mulai membuka mata dan mempersiapkan diri — bukan langsung lompat, tapi membangun jembatan secara perlahan: tingkatkan skill, perluas relasi, mulai melamar secara diam-diam, dan simpan dana darurat.

Job hugging adalah hal yang sangat manusiawi. Kita semua butuh rasa aman. Namun, pekerjaan bukan hanya soal gaji dan stabilitas — ini juga tentang makna, pertumbuhan, dan kesejahteraan mental.

Kalau kamu merasa tidak bahagia tapi terus bertahan karena alasan-alasan di atas, kamu tidak sendirian. Tapi jangan lupakan bahwa kamu punya pilihan, dan kamu berhak atas pekerjaan yang membuatmu berkembang, dihargai, dan—yang paling penting—bahagia.

Baca Juga : https://blog.kitakerja.co.id/kerja-dari-bali-pajak-dibayar-di-mana-freelancer-wajib-tahu-regulasi-baru-ini/