Cuti yang Tak Pernah Diambil: Budaya Kerja yang Membuat Karyawan Takut Istirahat

0
113
Cuti yang Tak Pernah Diambil: Budaya Kerja yang Membuat Karyawan Takut Istirahat

Cuti yang Tak Pernah Diambil: Budaya Kerja yang Membuat Karyawan Takut Istirahat – Di atas kertas, setiap karyawan punya hak untuk mengambil cuti. Tapi kenyataannya, tidak semua karyawan benar-benar menggunakan hak itu. Bahkan, tidak sedikit yang menumpuk hari cuti selama bertahun-tahun tanpa pernah mengambilnya. Alasannya? Takut dianggap malas, takut kehilangan kesempatan, atau takut dicap tidak loyal. Inilah wajah budaya kerja yang diam-diam merugikan kesehatan mental dan produktivitas banyak orang.

Cuti seharusnya adalah hak dasar setiap pekerja—bukan bentuk “penghargaan” yang harus diperjuangkan mati-matian. Sayangnya, di banyak tempat kerja, cuti masih diperlakukan seperti sesuatu yang “boleh diambil kalau keadaannya benar-benar mendesak”. Lebih buruk lagi, ada lingkungan kerja yang secara tak langsung memberikan sinyal bahwa mengambil cuti berarti tidak produktif atau kurang berdedikasi.

Misalnya:

  • Karyawan yang cuti, saat kembali ke kantor, ditanya dengan nada bercanda: “Lama banget cutinya, betah ya nganggur?”

  • Saat hendak cuti, diminta tetap standby atau membawa laptop “jaga-jaga kalau urgent.”

  • Ada beban psikologis karena merasa akan “merepotkan tim” kalau libur.

Tanpa disadari, situasi seperti ini membuat banyak orang lebih memilih tetap bekerja meskipun tubuh dan pikirannya sudah lelah.

Dalam banyak perusahaan, kesibukan dianggap sebagai simbol kerja keras. Semakin sering lembur, semakin terlihat “serius” bekerja. Dalam budaya seperti ini, cuti sering dianggap sebagai gangguan ritme kerja.

Cuti yang Tak Pernah Diambil: Budaya Kerja yang Membuat Karyawan Takut Istirahat

Padahal, justru sebaliknya. Cuti adalah bagian penting dari menjaga ritme kerja tetap sehat. Tanpa jeda, otak manusia tidak bisa berpikir optimal. Tanpa istirahat, tubuh menjadi rentan terhadap stres, kelelahan, dan akhirnya burnout.

Menunda-nunda cuti atau merasa “tidak enak” mengambil libur berdampak nyata:

  • Produktivitas menurun: Karyawan yang terlalu lelah lebih mudah melakukan kesalahan, kehilangan fokus, dan sulit berpikir kreatif.

  • Kesehatan mental terganggu: Tekanan terus-menerus tanpa waktu istirahat bisa memicu stres berat, kecemasan, hingga depresi ringan.

  • Kehilangan semangat kerja: Karyawan bisa mulai merasa hambar, jenuh, dan kehilangan motivasi jika tidak punya waktu untuk “mengisi ulang energi.”

Sudah saatnya kita berhenti melihat cuti sebagai kemewahan atau bentuk “malas-malasan”. Justru, karyawan yang bisa menjaga keseimbangan antara kerja dan istirahat adalah mereka yang tahu cara bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan pekerjaannya.

Beberapa hal yang bisa mulai diubah:

  1. Dari sisi karyawan:

    • Jangan merasa bersalah untuk istirahat. Ambil cuti saat dibutuhkan, bahkan sebelum merasa lelah.

    • Komunikasikan rencana cuti secara terbuka dan profesional agar tim bisa menyesuaikan.

    • Gunakan waktu cuti benar-benar untuk istirahat, bukan sekadar kerja dari tempat berbeda.

  2. Dari sisi perusahaan dan atasan:

    • Bangun budaya kerja yang menghargai keseimbangan hidup.

    • Jadikan cuti sebagai bagian dari strategi menjaga kinerja jangka panjang.

    • Jangan memberi beban atau pesan tersirat bahwa karyawan tidak boleh libur.

Di tengah dunia kerja yang serba cepat, kadang kita lupa bahwa berhenti sejenak bukan berarti tertinggal. Justru dengan memberi waktu pada diri sendiri untuk bernapas, kita bisa kembali dengan energi yang lebih segar, ide yang lebih tajam, dan semangat yang lebih kuat.

Jadi, kalau kamu sudah lama tidak mengambil cuti, mungkin ini saatnya bertanya:
Apakah kamu sedang bekerja… atau sedang kelelahan yang disamarkan?

Ambil jeda. Istirahat itu bukan kelemahan. Itu bentuk keberanian menjaga diri.

Baca Juga : https://blog.kitakerja.co.id/investasi-karier-milenial-belajar-ulang-kursus-online-dan-sertifikasi-digital/