Sentimen Karyawan & ‘Liquidasi’ Posisi: Mengapa Suasana Kerja Belakangan Memudar? – Beberapa bulan terakhir, banyak perusahaan di berbagai sektor mulai menunjukkan tanda-tanda “kelesuan” dalam dunia kerja. Suasana kantor yang dulu terasa hidup dan kolaboratif, kini tampak lebih tenang—bahkan cenderung dingin. Fenomena ini bukan sekadar soal beban kerja, tapi juga perubahan mendasar dalam sentimen karyawan dan dinamika posisi kerja di tengah perubahan ekonomi global.
Istilah “liquidasi posisi” kini tidak hanya berlaku di pasar saham atau kripto. Di dunia kerja, banyak karyawan merasa posisinya “dilikuidasi” secara halus entah lewat perampingan tim, perubahan jabatan, atau target yang tak realistis.
Fenomena rightsizing dan reorganisasi perusahaan yang marak sejak 2024 membuat banyak profesional hidup dalam ketidakpastian. Mereka mungkin tidak kehilangan pekerjaan secara langsung, tapi beban emosional dari ancaman tersebut sudah cukup membuat semangat kerja menurun.
Menurut sejumlah konsultan HR, rasa cemas terhadap masa depan posisi sering kali lebih melelahkan daripada kehilangan pekerjaan itu sendiri. “Ketika setiap minggu ada rumor tentang penggabungan divisi atau evaluasi besar-besaran, sulit untuk bekerja dengan pikiran tenang,” ujar salah satu HR business partner dari perusahaan teknologi di Jakarta.
Selain faktor ekonomi, penurunan semangat juga dipicu oleh krisis makna di tempat kerja. Setelah bertahun-tahun menyesuaikan diri dengan sistem kerja hybrid, banyak karyawan merasa kehilangan ikatan sosial yang dulu menjadi sumber energi di kantor.
Kini, pertemuan virtual menggantikan percakapan spontan di pantry, dan interaksi dengan rekan kerja menjadi serba terjadwal. Akibatnya, muncul rasa terisolasi meski secara teknis “terhubung”.
Di sisi lain, generasi muda seperti Gen Z membawa nilai baru ke dunia kerja—lebih menekankan keseimbangan hidup, kesehatan mental, dan kebebasan berkreasi. Namun, ketika sistem perusahaan masih berorientasi pada target kuantitatif dan jam kerja panjang, benturan nilai pun tak terelakkan.
Salah satu penyebab utama menurunnya sentimen karyawan adalah kurangnya empati dari pimpinan. Dalam banyak kasus, keputusan strategis perusahaan sering diambil tanpa komunikasi yang transparan.
Karyawan diberi tahu tentang perubahan besar di menit terakhir, atau bahkan hanya mengetahui kabar perampingan lewat email massal.
Padahal, di era penuh ketidakpastian seperti sekarang, pemimpin dengan kemampuan mendengarkan dan berempati jauh lebih dibutuhkan daripada sekadar yang bisa membuat strategi.
Pemimpin yang mampu menjelaskan alasan di balik keputusan sulit, serta mengakui dampaknya terhadap tim, biasanya mampu mempertahankan loyalitas dan semangat kerja lebih lama.
Sentimen Karyawan & ‘Liquidasi’ Posisi: Mengapa Suasana Kerja Belakangan Memudar?
Kenaikan biaya hidup, suku bunga yang masih tinggi, serta inflasi yang menekan daya beli juga memperburuk suasana kerja. Banyak karyawan yang secara finansial terjebak—gaji tidak naik signifikan, sementara biaya hidup melonjak.
Kondisi ini menciptakan financial anxiety yang menular ke lingkungan kerja, membuat karyawan mudah stres, sensitif, dan kehilangan motivasi.
Dalam situasi seperti ini, sekadar memberikan bonus tahunan tidak cukup. Karyawan kini mencari stabilitas, kejelasan arah karier, dan pengakuan terhadap usaha mereka—sesuatu yang lebih dari sekadar angka di slip gaji.
Untuk mengembalikan semangat kerja, perusahaan perlu berfokus pada pemulihan kepercayaan dan hubungan antarindividu. Transparansi dalam komunikasi, apresiasi terhadap kontribusi karyawan, serta ruang dialog terbuka menjadi kunci.
Selain itu, inisiatif kecil seperti well-being program, pelatihan kepemimpinan empatik, atau sekadar ruang santai untuk interaksi sosial dapat memberikan dampak besar terhadap suasana tim.
Karyawan bukan hanya sumber daya—mereka manusia dengan kebutuhan emosional dan rasa ingin dihargai. Ketika hal itu diabaikan, performa mungkin tetap bisa dijaga dalam jangka pendek, tapi motivasi dan loyalitas akan terkikis pelan-pelan.
Menurunnya sentimen karyawan bukanlah masalah individu semata, melainkan refleksi dari sistem kerja yang kehilangan keseimbangan antara produktivitas dan kemanusiaan.
Di tengah tekanan ekonomi dan perubahan struktural yang terus terjadi, perusahaan dan pemimpin perlu berani meninjau ulang cara mereka memperlakukan orang-orang di balik angka kinerja.
Sebab, suasana kerja yang sehat tidak dibangun dari target dan profit semata—melainkan dari rasa aman, dihargai, dan dipercaya.
Baca Juga : https://blog.kitakerja.co.id/from-hiring-to-inspiring-strategi-sdm-membangun-karyawan-produktif-dan-bahagia/






