Quiet Cracking: Krisis Diam-Diam dalam Dunia Kerja yang Butuh Perhatian

0
51
Quiet Cracking: Krisis Diam-Diam dalam Dunia Kerja yang Butuh Perhatian

Quiet Cracking: Krisis Diam-Diam dalam Dunia Kerja yang Butuh Perhatian – Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja telah mengalami banyak perubahan dari tren work from home, fenomena quiet quitting, hingga munculnya istilah baru yang mulai ramai dibicarakan: Quiet Cracking. Meski belum sepopuler istilah sebelumnya, fenomena ini mulai menjadi perhatian banyak perusahaan dan profesional HR karena menggambarkan krisis “diam-diam” yang bisa berdampak besar pada produktivitas dan kesehatan mental karyawan.

Quiet Cracking mengacu pada kondisi di mana karyawan tampak bekerja seperti biasa di permukaan, tetapi sebenarnya sedang mengalami tekanan emosional, kehilangan motivasi, atau kelelahan mental yang dalam. Mereka tidak berhenti bekerja secara tiba-tiba seperti pada tren quiet quitting, tetapi perlahan “retak” dari dalam — kehilangan semangat dan rasa keterhubungan dengan pekerjaannya.

Fenomena ini sering kali tidak terlihat oleh manajemen karena para pekerja yang mengalaminya masih hadir di rapat, masih menyelesaikan tugas, dan terlihat “baik-baik saja”. Padahal, di balik layar, mereka sedang berjuang keras untuk sekadar bertahan.

Ada banyak faktor yang bisa memicu quiet cracking, di antaranya:

  1. Tekanan kerja yang berlebihan
    Lingkungan kerja yang menuntut performa tinggi tanpa dukungan emosional dapat membuat karyawan merasa tidak berdaya dan kelelahan.

  2. Kurangnya apresiasi dan pengakuan
    Ketika upaya dan kontribusi seseorang tidak dihargai, muncul rasa hampa dan tidak dihargai — bibit awal retaknya motivasi.

  3. Ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi
    Meski banyak perusahaan berbicara soal work-life balance, kenyataannya banyak karyawan masih kesulitan menyeimbangkan keduanya.

  4. Budaya kerja yang toksik
    Komunikasi yang buruk, persaingan tidak sehat, dan minimnya empati dari atasan atau rekan kerja dapat mempercepat proses “retak” ini.

  5. Ketidakpastian ekonomi dan karier
    Di tengah ketidakstabilan global dan kemajuan teknologi seperti AI, banyak pekerja merasa cemas akan masa depan mereka.

Fenomena quiet cracking bukan hanya masalah individu, tapi juga tantangan organisasi. Karyawan yang secara emosional “retak” akan mengalami penurunan fokus, kreativitas, dan produktivitas. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memengaruhi moral tim dan bahkan menimbulkan turnover yang tinggi.

Bagi perusahaan, sulit mendeteksi fenomena ini karena tidak ada tanda-tanda jelas seperti absensi berlebih atau penurunan performa drastis. Namun, efeknya terasa: komunikasi menjadi lebih dingin, inovasi menurun, dan suasana kerja terasa berat.

Quiet Cracking: Krisis Diam-Diam dalam Dunia Kerja yang Butuh Perhatian

Untuk mencegah quiet cracking, perusahaan perlu menggeser fokus dari sekadar produktivitas menuju kesejahteraan karyawan secara menyeluruh. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  • Membangun budaya empati — pemimpin perlu belajar mendengarkan secara aktif dan memahami tantangan pribadi maupun profesional timnya.

  • Memberikan ruang untuk istirahat mental — bukan hanya cuti fisik, tapi juga waktu untuk digital detox dan refleksi diri.

  • Meningkatkan apresiasi dan komunikasi terbuka — penghargaan kecil bisa sangat berarti bagi semangat kerja seseorang.

  • Mendorong pelatihan manajemen stres dan keseimbangan hidup — perusahaan bisa menyediakan sesi well-being atau konseling internal.

Sementara itu, bagi individu, penting untuk menyadari tanda-tanda quiet cracking lebih awal — seperti kelelahan berkepanjangan, kehilangan minat terhadap pekerjaan, atau merasa “kosong” meski semua terlihat baik-baik saja.

Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  • Berani berbicara dengan atasan atau HR tentang beban kerja dan kondisi mental.

  • Menetapkan batas yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

  • Mengambil waktu untuk refleksi, istirahat, dan memulihkan diri tanpa rasa bersalah.

Quiet Cracking adalah fenomena baru yang mencerminkan perubahan besar dalam dinamika dunia kerja modern. Di tengah tuntutan tinggi, ketidakpastian ekonomi, dan tekanan digital yang terus meningkat, semakin banyak pekerja yang merasa “retak dari dalam”.

Mengenali dan mengatasi hal ini bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga organisasi. Karena di balik setiap performa hebat, ada manusia yang butuh didengar, dihargai, dan diberi ruang untuk tumbuh — tanpa harus pecah di dalam diam.

Baca Juga : https://blog.kitakerja.co.id/bagaimana-perusahaan-menata-ulang-budaya-kerja-pasca-pandemi/